Selasa, 21 April 2009

Kecerdasan Beragama Anak Usia Dini

PENGEMBANGAN KECERDASAN BERAGAMA
Oleh : Drs. Hapidin, M.Pd*


A. Rasional
Kecerdasan Beragama merupakan salah satu potensi kemanusiaan tertinggi dan terhormat yang diberikan Allah SWT. Mengapa ? Karena kecerdasan ini menggambarkan tingkat kesadaran tertinggi manusia yang memahami bahwa segala kehidupan ini bersumber pada Allah SWT yang mengatur dan memberi aturan hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya.
Kecerdasan beragama dibekalkan pada manusia agar dapat menata, mengatur, mengelola dan memberdayakan seluruh isi alam yang diamanatkan Allah SWT., sehingga memiliki kemanfaatan yang besar bagi manusia itu sendiri. Kecerdasan beragama manusia telah dianugerahkan Allah SWT. sejak manusia masih berada di alam ruh, sebuah alam yang bersifat rahasia. Hal ini terungakp dalam QS. Al-A’raf : 172 yang berbunyi “apakah engkau bersaksi bahwa Aku ini Tuhanmu. Ya aku bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhanku”. Kesaksian manusia ini nenunjukkan kemurnian atau keaslian manusia yang memiliki potensi dasar untuk mengakui dan tunduk akan ke-Maha Kuasaan Allah SWT.
Dalam QS. Asy-Syams : 7-8 dinukilkan bawa manusia oleh Allah diberikan dua kecenderungan, yakni kecenderungan beragama yang semakin mendekatkan diri dengan Allah SWT., (Taqwa) dan kecederungan beragama yang menjauhi Allah SWT., (Fujur).
Perkembangan potensi kecerdasan beragama seorang manusia sangat tergantung pada manusia itu sendiri ketika berinteraksi dengan lingkungannya. Kemurnian awal potensi kecerdasan beragama dapat lebih tampak ke arah fujur (menjauh dari tata aturan Allah SWT., ) atau lebih tampak ke arah taqwa (semakin mendekat dengan tata aturan Allah SWT.,) akan diwarnai oleh bagaimana lingkungan dan diri manusia itu sendiri mengisi dan memberikan arah dari kedua potensi yang dimaksud. Hal ini telah selaras dengan Sabda Rasulallah Muhammad SAW. “setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang dapat mengarahkan atau menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Dalam konteks Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), orang tua yang dimaksud dapat diperluas penafsirannya kepada setiap orang dewasa yang memiliki tanggung jawab terhadap anak. Hal ini mengingat bahwa potensi kecerdasan beragama akan berkembang jika lingkungan sosial (Social Context seperti yang dilansir Vygotsky) akan memberikan dampak yang sangat kuat dan besar. Atas dasar pemikiran tersebut, perlu penelusuran konsep dan penerapan cara-cara pengembangan potensi kecerdasan beragama pada anak sejak usia dini. Dengan keterbatasan dari segi referensi pendukung, konsep ini diharapkan sebagai upaya memulai proses perumusan ulang konsep pengembangan kecerdasan beragama pada anak sejak usia dini.

B. Landasan Pengembangan Kecerdasan Beragama
B.1 Landasan Konsepsi Keagamaan
Islam agama yang hakiki dapat dipastikan akan memberikan panduan yang kuat bagi setiap pemeluknya untuk memahami, menguasai dan melaksanakan setiap konsep secara baik dan cerdas. Informasi atau keterangan beragama yang cerdas secara konseptual diungkapkan dalam Al-Qur’an disertai dengan panduan pelaksanaannya melalui Hadits Rasulallah Muhammad SAW., Sebagaimana telah diungkapkan pada rasional di atas, misteri kecerdasan beragama manusia dapat dinukilkan melalui keterangan dari Zat yang menciptakan manusia itu sendiri, Allah SWT., Seluruh keterangan Allah dalam rangka memandu manusia memegang amanah keagamaan termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an Al-Karim. Amanah keagamaan ini pernah Allah tawarkan pada gunung, bumi, laut dan langit namun mereka semua tidak menyanggupinya dan hanya manusia yang merasa sanggup memikul amanah keagamaan tersebut (QS. Al-A’raf ayat 72). Diantara sekian banyak amanah keagaman yang dibebankan Allah SWT., pada manusia terdapat amanah yang paling berat dan paling strategis yaitu amanah pada manusia untuk “menjadi khalifatullah fil ardli” (Al-Baqarah : 30), penerus atau penegak ajaran Allah di muka bumi, pemimpin yang diamanah Allah di muka bumi untuk menjadi pemakmur seluruh alam. Secara konseptual keagamaan, inilah pada hakikatnya yang merupakan puncak tertinggi kecerdasan beragama manusia, manakala ia dapat mewujudkan dirinya sesuai dengan keinginan Sang Pencipta menjadi (Ob Becoming Person) penegak, penerus dan pemimpin dalam melaksanakan ajaran Allah SWT., di muka bumi. Untuk sampai pada titik puncak ini, manusia harus mengenali pada posisi mana awal dimulainya pengembangan kecerdasan beragama tersebut. Dinul Islam sebagai agama yang sempuna telah memberikan gambaran awal tentang bagaimana proses memulai mengembangkan kecerdasan beragama sejak masa pra-konsepsi sampai ke masa pertumbuhan janin dalam rahim Ibu. Rasulallah memberikan ajaran dan contoh langsung tentang cara-cara melakukan hubungan suami istri sebagai bentuk pembelajaran untuk mempersiapkan anak yang cerdas beragama pada masa konsepsi janin dan setelah lahir menjadi anak manusia. Diantara ajaran rasulallah adalah berdo’a sebelum persetubuhan suami istri berlangsung. Pada masa terjadinya konsepsi, Rasulalllah mengajarkan konsistensi berdo’a sebelum bersetubuh setelah terjadinya janin, memberikan rangsangan bacaan Al-Qur’an (baik melalui ayah atau ibunya) dan memberikan makanan yang baik dan halal untuk janin yang dikandung.
Proses pengembangan kecerdasan beragama dilanjutkan ketika janin lahir menjadi bayi dengan pola “memperdengarkan” kalimat kebenaran (kalimatul haq). Keseluruhan proses tersebut pada hakikatnya merupakan konsistensi pembelajaran dalam rangka memelihara kemurnian (keaslian) potensi kecerdasan beragama yang telah ditanamkan Allah SWT. Pengenalan kalimat kebenaran (kalimatul haq) menjadi proses pengembangan awal untuk mengisi persepsi auditif anak tentang kalimat tauhid dan kebesaran Allah SWT., Proses ini sekaligus upaya pendidikan untuk menanamkan sisi positif dari kecerdasan beragama (kecenderungan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT., atau taqwa). Kalimat tauhid ini pula yang menjadi amanah pendidikan Lukman dalam proses mendidik anak di tahun-tahun berikutnya.

B.2 Landasan Psikologis
Secara psikologis, kecerdasan beragama seorang anak akan mengalami perkembangan sesuai dengan usia dan perkembangan fungsi mental lainnya. Pada usia 0-2 tahun, kecerdasan beragama anak secara umum berada dalam tahap reseptif (menerima) segala bentuk pengetahuan, pengalaman dan berbagai nilai-nilai keagamaan. Sejalan dengan berkembangnya fungsi panca indra, bahasa dan fungsi kognitif anak, pada tahap ini anak dapat menerima dan memberikan respon sederhana terhadap pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang diberikan lingkungan sosialnya. Suasana sosial yang menghadirkan berbagai pengetahuan keagamaan (misalnya subhanallah anak ibu sudah merangkak, Alhamdulillah makannya banyak), pengalaman keagamaan (misalnya mengajak anak berdo’a sebelum/sesudah makan, berdo’a ketika ada hujan atau petir, mengajak atau memperlihatkan kegiatan berwudlu dan sholat pada anak) dan nilai-nilai keagamaan (seperti “makannya harus dihabiskan nanti mubazir”, “ya kita bersyukur ayah mendapatkan oleh-oleh buah-buahan). Dalam beberapa peristiwa, anak akan meniru (imitasi) dan mengidentifikasi pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang telah diterimanya, terutama ketika berinteraksi dengan teman-temannya atau lingkungan sosial lainnya. Suasana keagamaan yang dihadirkan oleh lingkungan sosial akan sangat berpengaruh terhadap proses imitasi dan identifikasi anak dalam menunjukkan berbagai kebiasaan berbicara, bersikap dan berperilaku. Seluruh suasana keagamaan yang dihadirkan tersebut akan menjadi dasar yang dipergunakan anak untuk melakukan interaksi keberagamaan, baik untuk dirinya sendiri maupun ketika berinteraksi dengan lingkungan sosial lainnya. Hal ini sekaligus menjadi dasar bagi anak untuk mengembangkan kecerdasan beragamanya.
Pada usia 2-4 tahun, kecerdasan beragama anak mulai mengalami perkembangan sejalan dengan luasnya interaksi sosial, perkembangan bahasa dan kognitifnya. Pada usia ini, anak sudah mulai meyakini akan adanya hal-hal yang ghaib (seperti setan / jin). Kayakinan seperti ini dalam kebanyak anak berpengaruh terhadap sebagian sikap dan perilakunya, misalnya ketika beberapa anak usia 2 tahun, 3 tahun dan 4 tahun bermain bersama kemudian sampai pada suatu rumah kosong, tiba-tiba mereka semua berlari terbirit-birit sambil berkata “ada setan di rumah itu”. Kejadian seperti ini merupakan pertanda bahwa anak pada usia 2-4 tahun sudah menampakan kecerdasan beragama dalam bentuk imitative-imajinatif. Seluruh pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan akan ditiru (imitasi) dan direfleksikan dalam berbagai khayalan (imajinatif). Proses imitasi dan imajinasi keagamaan akan sangat tergantung pada bagaimana lingkungan sosialnya memberikan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada anak-anak.
Pada usia 2-4 tahun, kecerdasan beragama anak juga mulai tampak dengan bertanya tentang Tuhan itu siapa atau siapa Allah itu ? dimana tempat tinggalnya Allah ? Allah itu suka makan atau tidak ? Berbagai pertanyaan seperti ini menunjukkan kuatnya perkembangan kognitif anak pada tahap berpikir kongkrit. Berbagai khayalan tentang Tuhan, Malaikat, Setan dan hal-hal ghaib lainnya akan diimajinasikan sesuai dengan kadar pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang diterima anak. Ketika anak-anak (usia 2-4 tahun) mulai meyakini adanya hal-hal yang ghaib dan mempengaruhi pola sikap serta perilakunya (misalnya berlari, merinding, menangis) maka pada tahap ini konsep ghaib tentang malaikat dan Allah SWT., dapat dihadirkan dengan benar. Proses perkembangan kecerdasan beragama seperti ini sekaligus merupakan awal perkembangan munculnya Ihsan, suatu konsep keberagamaan yang meyakini bahwa Allah SWT., selalu berada dihadapan kita dan/atau senantiasa dapat melihat setiap ucapan, sikap dan tingkah laku seseorang. Kecerdasan beragama dalam bentuk dan konsep ihsan akan tumbuh serta berkembang pada usia 2-4 tahun jika lingkungan sosial dapat memberikan nuansa ihsan dalam menjalankan keberagamaan sepanjang hidupnya. Beberapa anak pada usia ini sudah mulai berdo’a dengan tertib, tenang (khusyu) bahkan ada yang sampai menangis ketika memohon ampun atau meminta sesuatu pada Allah SWT., Sebagian diantara mereka sudah merasakan kehadiran adanya Allah SWT., dihadapan mereka sejalan dengan mereka meyakini hal-hal ghaib lainnya yang juga diyakini seperti setan.
Pada tahap usia 4-6 tahun, anak akan mengalami perkembangan yang lebih baik lagi dalam kecerdasan beragama sejalan dengan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan yang dialami pada tahap sebelumnya. Walaupun dominasi masa-masa imitasi, identifikasi dan imajinasi keagamaan masih berlangsung pada usia ini namun pergerakan yang menunjukkan adanya perkembangan kecerdasan beragama secara lebih kompleks sudah mulai tampak. Anak-anak sudah mulai memperdebatkan tentang kehebatan Tuhan, Malaikat, keindahan syurga dan buruknya neraka walaupun masih dikuasai oleh berbagai kekuatan khayalan dan imajinasinya. Dalam kasus nyata, mulcul dialog antara anak di usia 4-6 tahun sebagai berikut :
Andi berkata pada temannya “kata mamahku semua agama itu benar dan baik, Tuhan yang disembahnya juga sama”.
Dicky menimpali Andi “Tapi kata mamahku dan bu Guru, agama Islam yang paling baik dan benar. Tuhan Allah itu berbeda dengan Tuhannya agama lain”.
Dialog perdebatan seperti itu menunjukkan betapa rujukan social (social references) sangat memberikan warna berpikir, berbicara dan bersikap seorang anak. Preperensi anak dalam beragama akan diwarnai oleh siapa (lingkungan social) yang telah memberikan dan mengisi pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keagamaan pada seorang anak. Proses ini sekaligus menjadi penjelas bahwa fitrah (kecenderungan yang bersifat potensial) pada seorang anak akan diwarnai oleh orang tua atau orang dewasa yang akan mempengaruhi anak. Proses seperti ini dapat dikategorikan sebagai bentuk refleksi keberagamaan. Refleksi keberagamaan dilakukan anak dengan cara mengolah dan menunjukkan keyakinan tertentu sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan nilai-nilai keberagamaan yang pernah diterima dan dialami secara langsung.

B.3 Landasan Filosofis dan Ilmu Pendidikan
Landasan filosofis memberikan gambaran tentang pemikiran-pemikiran yang bersifat mendasar (radikal), menyeluruh dan spekulatif tentang fenomena manusia, terutama yang terkait dengan kehidupan manusia dalam beragama. Acuan filosofis yang dijadikan bahan kajian (rujukan) diantaranya adalah filsafat agama yang banyak memberikan gambaran informatif, pemikiran dan sikap/perilaku keagamaan dalam berbagai aspek kehidupan. Filsafat agama (khususnya Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Rasul) menggambarkan sejumlah informasi, pengetahuan (sejarah, sains, sosial dsb) dan nilai-nilai keagamaan. Beberapa konsep filosofis agama yang menjadi dasar dalam menjelaskan tentang kecerdasan beragama manusia diantaranya adalah konsep tentang :
1. Manusia diciptakan Allah SWT., untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi (QS 2 : 30, 51 : 56).
2. Allah memberikan bekal manusia berupa dua kecenderungan keberagamaan yakni kecenderungan beragama secaca fujur dan taqwa. (QS. Asy – Syams : 7-10).
3. Allah SWT., memberikan hak pilih pada manusia apakah akan beriman atau kafir dengan balasan masing-masing.

Kerangka filosofis Islam tentang manusia tersebut memberikan gambaran yang jelas betapa Allah SWT., telah mendudukkan manusia dalam tempat yang tertinggi dari seluruh makhluk ciptaannya serta memberikan bekal berupa dienullah agar manusia dapat menjalan tugas penciptaan-Nya dan mencapai tujuan hidupnya. Semua pembekalan Allah SWT., yang berupa fisik dan potensi mental kecerdasan beragama serta berupa manual petunjuk menjalani hidup (Al-Qur’an) dan contoh perilaku/sikap hidup (As-Sunnah).
Dalam konsep ilmu pendidikan Islam, pencapaian derajat keberagamaan manusia merupakan sebagian dari tujuan pendidikan itu sendiri. Allah SWT., sebagai pencipta, pengatur dan pemberi hidayah manusia telah menunjukkan Zat-Nya sebagai contoh pendidik yang Maha Agung. Karakteristik pendidikan yang digambarkan Allah SWT., adalah proses interaksi atau dialog yang bertujuan mendidik seperti yang digambarkan dalam peristiwa penciptaaan manusia (QS 2 : 30), memberikan kesempatan manusia apakah akan beriman atau kafir, peristiwa Nabi Musa yang berdialog langsung dengan Allah SWT..

B.4 Landasan Sosio-Antropologis
Makna keberagaman budaya, adat istiadat, suku bangsa, bahasa, dan agama di negara Indonesia tergambar beragama di masyarakat yang sesungguhnya. Saling hormat menghormati perbedaan yag ada dalam masyarakat adalah hal yang perlu diupayakan bersama. Karena pada hakikatnya manusia dilahirkan dalam keadaan tidak sama satu sama lain.
Untuk dapat memadang semua perbedaan yang ada dalam kehidupan di masyarakat sebagai sesuatu yang wajar dan menyikapinya dengan moralitas yang tinggi, maka diperlukan pendidikan yang merupakan kunci dalam membentuk kehidupan manusia ke arah peradabannya,menjadi sesuatu yang sangat strategis dalam mencapai itu semua.Taman kanak – kanak dipandang sebagai komunitas masyarakat yang perlu mendapat pembinaan secara optimal. Unsur-unsur ada di dalamnya merupakan calon manusia yang berpotensi melanjutkan kehidupan bangsa. Bila mereka medapat pendidikan nilai-nilai keagamaan yang tepaat maka bukan tidak mungkin hal itu menjadi pondasi spiritual yang kuat bagi perkembangan mereka selanjutnya.

B.5. Landasan Yuridis
Menurut undang – undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk megembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( Sisdiknas, 2003 : 6 ).
Uraian fungsi dan tujuan di atas, memberikan makna bahwa sehebat apapun potensi berkembang, bangsa ini tetap berkeiginan untuk melandasinya dengan pilar keimanan dan ketaqwaan Yag Maha Esa. Oleh sebab itu, peeeendidikan nilai-nilai keagamaan berfungsi mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai agamanya da atau menjadi ahli ilmu agama (Sisdiknas, 2003:17)

Selasa, 14 April 2009

STRATEGI MENGEMBANGAN KECERDASAN JAMAK ANAK*
Oleh : Drs. Hapidin MPd.**

A. Selayang Pandang tentang “Kecerdasan”
Kecerdasan merupakan salah satu potensi dasar yang telah dianugerahkan Allah SWT., pada manusia untuk menjalankan amanah-Nya sebagai khalifatullah fil Ardi atau penerus, pemelihara dan penegak ajaran Islam di muka bumi (QS Al-Baqarah : 30). Potensi dasar ini hanya diberikan Allah SWT., pada manusia saja dan tidak diberikan pada makhluk lainnya. Dengan kecerdasan tersebut, manusia dapat berfikir, mengamati, berdiskusi, berdebat, menciptakan sesuatu, merangkai kata/bahasa, memahami dan menguasai alam, berpolitik, menata ekonomi, membuat alat untuk membangun pertahanan dan keamanan, baik bagi dirinya, keluarga, masyarakat serta bangsa. Sedemikian hebatnya potensi kecerdasan tersebut sampai-sampai manusia sendiri menemukan berbagai kesulitan untuk memahami misteri “kecerdasan” dirinya sendiri. Berpuluh tahun manusia (para ahli, khususnya bidang psikologi) mempunyai anggapan bahwa kecerdasan manusia itu bersifat tunggal dan dapat diukur dengan satuan yang disebut dengan IQ (Intellegence Quotient). Seseorang anak yang telah berhasil di psikotes atau tes IQ biasanya akan memperoleh satuan IQ dengan besaran 110, 120, 90, 70 atau 140 tergantung dari jenis tes yang dipergunakan. Satuan IQ tersebut masing-masing mempunyai kesimpulan yang bersifat kategorikal, misalnya IQ dengan satuan antara 105-110 tergolong rata-rata cerdas dan 90-99 tergolong dibawah rata-rata. Satuan IQ ini telah memberikan label tunggal untuk menyimpulkan kecerdasan seorang anak, bahkan memprediksi atau meramalkan keberhasilannya pada studi lanjut atau pekerjaan kelak di masa yang akan datang.
Kita dapat membayangkan jika anak kita memperoleh IQ dengan satuan 70. Lantas apa yang akan kita katakan pada anak kita? Jika anak tidak dapat mengerjakan PR atau telat berpikir langsung dilabel “dasar anak Ideot, dasar anak bodoh, bego atau tolol, kayak bapaknya atau kayak ibunya”.
Kalau kita telusuri orang-orang sukses dan menjadi ahli yang mendunia seperti Einsteins, Thomas Alfa Edison atau tokoh-tokoh dunia sekarang George Bush, SBY, Fiedel Castro, Muamar Khadafi, Ahmadinejab, Gusdur dan Amin Rais belum tentu mereka itu memiliki IQ yang tinggi atau superior. Boleh jadi mereka memiliki sisi-sisi atau dimensi-dimensi kecerdasan lain yang menonjol sementara kecerdasan tertentunya kurang bagus. Cara pandang seperti inilah yang sekarang disebut dengan istilah “kecerdasan jamak”, bahkan mungkin super jamak atau istilah kerennya “Multiple Intellegence”. Cara pandang ini menganggap dan menolak cara memahami kecerdasan yang bersifat tunggal serta dapat diukur dengan satuan seperti yang dijelaskan diatas. Apakah masih boleh mengetes IQ anak kita untuk melihat kecerdasannya ? Jawabannya boleh-boleh saja tetapi kalau bisa jangan meminta satuan IQnya tetapi deskripsi atau gambaran umum kecerdasan dengan berbagai aspek atau komponennya. Satuan IQ sebaiknya dihindari untuk menghindari melebel atau “menghukum” anak kita karena skor atau nilai satuan kecerdasannya.

B. Anak yang Cerdas
Uraian di atas memberikan pemahaman pada kita bahwa anak yang cerdas belum tentu karena skor/nilai IQ tinggi, anak superior atau anak cemerlang dan belum tentu juga hanya karena skor/nilai IQ rendah. Setiap anak diberikan bekal kecerdasan oleh Allah SWT., dengan kadar dan dimensi yang berbeda-beda. Ada anak yang kecerdasan dalam mengolah matematikanya rendah tapi kalau urusan bergaul, mengajak dan mempengaruhi temannya, dia tergolong anak cemerlang. Dalam pandangan kecerdasan jamak, anak seperti ini kurang bagus dalam kecerdasan logis matematis namum bagus dalam kecerdasan interpersonal (kecerdasan sosialnya). Ada anak yang jika berbicara, membaca atau membuat tulisan kurang bagus tetapi kalau sudah mengamati, menemukan atau berbicara tentang lingkungan alam sekitar sangat bagus. Anak seperti ini menunjukkan kurang bagus dalam kecerdasan berbahasa (linguistic Intellegence) dan sangat bagus dalam kecerdasan naturalis (pengamatan dan penghayatan alam atau Natural Intellegence). Kalau demikian, kita sebagai orang tua jangan pernah menghukum atau melebel anak terburu-buru kalau dia tidak bisa mengerjakan PR, kurang bagus dalam membaca, kurang teliti dalam berhitung atau kurang bagus dalam menulis. Masing-masing anak akan menunjukkan pola keunggulan pada suatu dimensi kecerdasan dalam keseluruhan dimensi kecerdasan jamak (multiple Intellegence).
C. Dimensi Kecerdasan Jamak
Howard Gardner, seorang Profesor Pendidikan dari Harvard University telah bertahun-tahun melakukan riset dan studi tentang perkembangan kapasitas kognitif manusia. Setiap anak menunjukkan dominasi perkembangan kecerdasan pada dimensi tertentu dan juga menunjukkan kecenderungan terjadi perkembangan pada daerah otak tertentu. Pada tahun 1983, Gardner menyampaikan Theory of Multiple Intellegence yang menjadi penguat perspektif tentang kognisi manusia. Kecerdasan adalah factor kognisi yang dipengaruhi oleh unsure budaya dimana dilahirkan dan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan masalah dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia (Campbell etc., 2002 : p.2). Pada penemuannya di tahun itu, Gardner mengidentifikasi 7 jenis kecerdasan manusia. Ketujuh kecerdasan yang dimaksud adalah :
1) Kecerdasan berbahasa (Linguistic Intellegence)
Kecerdasan ini merupakan kemampuan berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Kelompok yang yang kuat atau bagus dalam kecerdasan ini diantaranya adalah pengarang, penyair, jurnalis, pembicara dan penyir berita.
2) Kecerdasan Logika-matematika (Logical-Mathematical Intellegence),
Kecerdasan ini merupakan kemampuan berpikir dalam melakukan operasi hitung, mengukur, mepertimbangkan preposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operaso matematis. Kelompok orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan logis matematis diantaranya adalah ahli matematika, akuntan, insinyur dan programer.
1) Kecerdasan berbahasa (Linguistic Intellegence)
Kecerdasan ini merupakan kemampuan berpikir dalam bentuk kata-kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dan menghargai makna yang kompleks. Kelompok yang yang kuat atau bagus dalam kecerdasan ini diantaranya adalah pengarang, penyair, jurnalis, pembicara dan penyir berita.
2) Kecerdasan Logika-matematika (Logical-Mathematical Intellegence),
Kecerdasan ini merupakan kemampuan berpikir dalam melakukan operasi hitung, mengukur, mepertimbangkan preposisi dan hipotesis serta menyelesaikan operasi-operaso matematis. Kelompok orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan logis matematis diantaranya adalah ahli matematika, akuntan, insinyur dan programer.
3) Kecerdasan Spasial(Spatial Intellegence)
Kecerdasan ini merupakan kemampuan seseorang berpikir untuk merasakan dan menghadirkan bayangan eksternal dan internal, melukiskan kembali, mengubah atau memodifikasi bayangan, mengemudikan diri sendiri, dan objek melalui ruangan serta menghasilkan atau ,emguraikan informasi grafik. Kelompok yang yang kuat atau bagus dalam kecerdasan ini diantaranya adalah pelaut, pilot, pemahat, pelukis, arsitek.
4) Kecerdasan Kinestetik-tubuh (Bodily Kinesthetic Intellegence),
Kecerdasan ini merupakan kemampuan seseorang dalam menggerakan objek dan keterampilan fisik yang halus. Kelompok orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan kinestetik diantaranya adalah atlet, penari, ahli bedah dan seniman.
5) Kecerdasan Musik (Musical Intellegence)
Kecerdasan ini merupakan kemampuan dan kepekaan seseorang dalam pemahaman pola titi nada, melodi, ritmik dan nada. Kelompok orqang yang kuat atau bagus dalam kecerdasan ini diantaranya adalah composer, musisi, kritikus dan pembuat alat musik.
6) Kecerdasan Sosial (Interpersonal Intellegence),
Kecerdasan ini merupakan kemampuan memahami dan berinteraksi dengan orang lain secara efektif. Kelompok orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan social diantaranya adalah guru, pekerja social, artis dan politikus.
7) Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intellegence),
Kecerdasan ini merupakan kemampuan dalam membuat persepsi yang akurat tentang diri sediri dan menggunakannya untuk merencanakan serta mengarahkan kehidupan seseorang secara positif. Kelompok orang yang memiliki keunggulan dalam kecerdasan social diantaranya adalah ahli ilmu agama, ahli psikologi dan ahli filsafat.
Pada periode berikutnya, Gardner menemukan formulasi dimensi kecerdasan lain yaitu kecerdasan moral (Moral Intellegence) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Intellegence).

D. Strategi Mengembangkan Kecerdasan Jamak
Uraian strategi sederhana ini disusun untuk mengembangkan kecerdasan jamak secara keseluruhan pada setiap anak. Dengan demikian, cakupannya masih bersifat umum. Adapun strategi yang bersifat spesifik (khusus) untuk setiap bentuk atau dimensi kecerdasan sebaiknya dipahami, dipelajari dan disusun strategi untuk masing-masing dimensi yang dimaksud.
1. Mengenali Dimensi Kecerdasan Yang Menonjol
Pada langkah awal, pendidik sudah seharus memahami terlebih dahulu makna tentang anak yang cerdas sebelum mengenali dimensi kecerdasan yang menonjol pada anak kita. Jika sudah dapat memahami makna anak yang cerdas, maka pahami dan identifikasi anak kita cenderung berada dalam dimensi kecerdasan mana yang menonjol. Buatlah catatan-catatan fakta, peristiwa atau kejadian sederhana yang menggambarkan kecenderungan kecerdasan anak kita.
2. Menggali Potensi secara Lebih Dalam
Langkah ini merupakan lanjutan dari langkah pertama untuk menggali lebih dalam potensi kecerdasan yang menonjol dan menggambarkan juga potensi yang belum tampak. Pendidik (orang tua dan guru) sebaiknya memberikan kesempatan yang sama dan seimbang agar semua potensi kecerdasan dapat berkembang. Setiap dimensi kecerdasan dapat melejit atau melesat dengan cepat pada setiap anak, bahkan dapat pula sebaliknya suatu dimensi yang menonjol akan tenggelam atau menyusup kembali karena kurang diberikan ruang atau kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
3. Memetakan Kekuatan & Kelemahan Pada Setiap Dimensi
Setelah pendidik dapat menggali dan memperoleh pemahaman yang bersifat factual (nyata) dari apa yang dipikirkan, dibicarakan dan ditunjukkan setiap anak maka langkah selanjutnya adalah membuat peta kekuatan dan kelemahan masing-masing dimensi kecerdasan dari diri anak kita. Peta ini penting agar pendidik dapat menyusun pola yang tepat dalam mendukung dimensi kecerdasan yang telah menonjol dan memperbaiki dimensi kecerdasan yang belum tampak.
4. Memberikan Dukungan Program, Proses, Alat dan Lingkungan yang Tepat
Dengan peta kekuatan dan kelemahan masing-masing dimensi kecerdasan jamak pada anak kita, maka selanjutnya kita dapat menyusun dan memperkirakan program apa yang dapat mendukung pengembangan suatu dimensi kecerdasan, bagaimana proses yang akan ditawarkan pada anak kita, Alat apa saja yang harus dipersiapkan dan dengan lingkungan bagaimana kita harus memberikan dukungan. Keempat aspek tersebut sebenar merupakan satu kesatuan yang utuh dalam proses mendidik tumbuh kembang seluruh dimensi kecerdasan jamak anak kita.
5. Bekerja sama dengan Sekolah
Jika langkah keempat sudah lengkap kita susun, selanjutnya kita dapat melakukan upaya kerja sama dengan pihak sekolah atau pihak lain yang mungkin dapat memberikan dukungan misalnya sanggar kreativitas (tari, musik dan seni dua/tiga dimensi), lembaga bimbingan belajar atau kursus-kursus professional. Kerja sama dapat dibangun juga dengan organisasi anak, perkumpulan pencak silat atau lainnya. Seluruh upaya kerja sama didasarkan pada data yang kita telah siapkan di langkah keempat.


Referensi
David Campbell, terj. Mangunharjana, Mengembangkan Kreativitas. Yogyakarta : Kanisius, 1986.
Linda Campbell, Bruce Cambell and Dee Dickinson, terj., Metode Terbaru, Melesatkan Kecerdasan. Depok: Inisiasi Press, 2002.
Hapidin, Model-model Pendidikan untuk Anak Usia Dini. Jakarta : Ghiyats Alfiani Press, 1999.
Hapidin, Strategi Pembelajaran ; Acuan Konseptual dan Praksis. Bekasi : Pusdaini Press, STAI Bani Saleh, 2005.
Hurlock, Elizabeth B., terj. Meitasari Tjandrasa, Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta : Erlangga, 1989.
Munandar, Utami, Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : PT Gramedia, 1987.
Rogers, C