Jumat, 22 Oktober 2010

Strategi Pembelajaran Kita

STRATEGI PEMBELAJARAN KITA
(KREATIF, INOVATIF & ATRAKTIF)*
(* disampaikan dalam Lokakarya Guru TK Pembina Tingkat Provinsi)
Oleh : Drs. Hapidin M.Pd.

A. Latar Belakang

Penguasaan strategi Pembelajaran merupakan salah satu ciri utama kompetensi professional bidang keguruan. Melalui penguasaan strategi pembelajaran, seorang guru akan menunjukkan dua aspek sekaligus, yakni penguasaan aspek konseptual yang membentuk kerangka berpikir (mind set) guru dan penguasaan aspek praktik yang membentuk tindakan mendidik (educating action). Pada penguasaan aspek konseptual, seorang guru harus menguasai aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep perkembangan anak, konsep kurikulum, konsep model pembelajaran dan konsep metodologi pembelajaran. Adapun aspek praktik diantaranya mencakup penguasaan teknik pembelajaran, melakukan asesmen perkembangan anak, mengembangkan bahan ajar menggunakan media/sumber belajar dan menata lingkungan pembelajaran.
Pentingnya penguasaan komponen strategi pembelajaran tersebut akan memberikan dampak langsung dalam membantu anak didik belajar secara aktif, asyik dan menyenangkan serta mencapai hasil belajar yang optimal. Namun demikian, pada pelaksanaan di lapangan banyak sekali kendala dan permasalahan ditemukan, terutama berkaitan dengan bagaimana menciptakan strategi pembelajaran yang memungkinkan anak didik belajar dengan tenang, nyaman, asyik dan menyenangkan. Banyak guru yang menciptakan kegiatan belajar mengajar ”BPPT-LKS” atau ”Buku Paket-Papan Tulis-LKS” yang menjadikan situasi monoton, anak aktif tertekan dan jenuh. Guru lebih banyak mengejar target kurikulum (dalam arti sempit standar isi pendidikan) dibandingkan dengan proses belajar anak itu sendiri. Hal ini juga dipicu oleh kebijakan pemerintah yang lebih banyak menitik beratkan pencapaian hasil belajar (terutama pada hasil kenaikan kelas atau ujian akhir nasional). Kebijakan tersebut pada dasarnya cukup bertentangan dengan konsep KBK (kurikulum 2004) dan KTSP (kurikulum 2006) yang menitik beratkan kegiatan pendidikan pada pencapaian proses dan hasil belajar anak didik secara seimbang. Pada sisi lain, kegiatan belajar mengajar (baik di TK maupun SD) lebih banyak didominasi guru sebagai pengajar dibandingkan dengan aktivitas murid sebagai pembelajar. Hal ini ironis mengingat CBSA atau Children centre atau acitve learning telah diperkenalkan sejak kurikulum 1984 dan secara konsisten diteruskan pada kurikulum 1994, 2004 dan 2006.
Disamping itu, masih banyak TK dan SD yang melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang lebih banyak mengarahkan anak hanya sekedar tahu atau mepunyai pengetahuan (learning how to know). Kondisi ini berdampak pada ketidak pahaman anak tentang ”untuk apa saya belajar ini dan bagaimana saya menggunakan pelajaran ini?”. Sebagai contoh, kita yang sudah belajar 12 tahun masih belum mengerti untuk apa dan dimana ”rumus phytaghoras” itu dipergunakan, dimana saya menemukan gelombang magnet, ciri-ciri makhluk hidup, tumbuhan monokotil dan dikotil, gotong royong dan sebagainya.
Berbagai fakta dan permasalahan tersebut menjadi tantangan kita sebagai guru dan guru telah diakui sebagai suatu profesi. Sebagai suatu profesi, segala tindakan guru dalam mendidik atau membelajarkan anak didik harus didasarkan konsep pendidikan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini menunjukkan bahwa praktik mengajar guru benar-benar memiliki dasar-dasar pedagogis atau sering disebut sebagai praksis, yakni praktik mendidik atau membelajarkan anak yang didasarkan pada bangunan konsep pendidikan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Kalau kita mengajarkan membaca ”Ba ju – Baju” atau ”9 ditambah 5, 9 simpan di kepala lalu tambah 5” tidak tahu sama sekali apa dasarnya dan kita melihat tindakan yang sama dilakukan sama si Mbok mengajarkan anak majikannya yang juga tidak tahu dasarnya lantas ”apa bedanya kita dengan si Mbok tersebut”.
Untuk mengembalikan citra guru sebagai seorang profesional, salah satu hal menjadi dasar dan pertaruhan kita adalah ”menguasai strategi pembelajaran” sampai ke akar-akarnya sehingga kita dapat menemukan suatu strategi pembelajaran yang paling sesuai, paling cocok atau paling tepat dengan perkembangan anak (Developmentally Appropriate Practice Instruction disingkat DAPI). Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kita dapat menciptakan strategi pembelajaran yang DAPI ? Mari kita coba menelusuri strategi pembelajaran seperti dengan mengistilahkan strategi pembelajaran KITA (Kreatif, Inovatif dan Atraktif). Ini merupakan rumusan pembelajaran yang membangun kreativitas anak, memberi kesempatan anak berinovasi dan membuat anak atraktif (menyenangkan).

B. Prasyarat Utama : Strategi Pembelajaran KITA
Prasyarat utama dalam menguasai strategi pembelajaran adalah melakukan penelaahan diri (self instrospection) dengan mengajukan pertanyaan :
1) Apakah saya memahami perkembangan anak pada rentang usia anak didik yang saya ajar ?
2) Apakah saya sudah menggunakan konsep perkembangan anak dalam kegiatan belajar mengajar ?
3) Apakah saya sudah memahami secara benar kurikulum yang menjadi acuan di tempat saya mengajar (termasuk kurikulum yang berlaku secara nasional) ?
4) Apakah saya sudah melakukan analisis gradasi (susunan) kompetensi dasar pada setiap bidang pengembangan atau bidang studi yang akan dicapai dan dikuasai anak didik ?
5) Apakah saya sudah memahami pendekatan, metode dan prinsip kegiatan pembelajaran yang disarankan dalam kurikulum (KBK’2004 atau KTSP’06) ?
6) Apakah saya sudah menguasai teknik penilaian proses dan hasil pembelajaran sebagaimana disarankan dalam kurikulum ?
7) Apakah saya mengenal dan memahami model-model pendidikan (pembelajaran) apa saja yang dapat dipergunakan pada lembaga pendidikan tempat saya bertugas ? (sebagai contoh : ada TK/SD dengan model sekolah alam, TK/SD model Proyek dan TK/SD model Sentra).
8) Apakah saya menguasai dan dapat mempraktikan dengan benar ragam pendekatan dan metode pembelajaran sesuai dengan tingkat pendidikan dimana saya bertugas ?
9) Apakah sebelum memulai awal tahun pelajaran, saya melakukan asesmen terhadap pengetahuan dan kemampuan awal anak sehingga saya memperoleh gambaran kemampuan awal setiap anak terhadap standar kompetensi yang diharapkan ?
10) Apakah saya telah menggunakan ragam teknik pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak secara individual, kelompok maupun klasikal ?
11) Apakah saya telah berusaha menyusun dan mengembangkan bahan ajar sendiri secara terpadu dan kontekstual ?
12) Apakah saya telah menggunakan media dan sumber belajar yang sesuai dan tepat dengan kebutuhan anak didik dan pencapaian kompetensinya ?
13) Apakah saya telah menata dan menciptakan lingkungan pembelajaran (baik indoor space maupun outdoor space) yang membuat anak nyaman, kerasan, aktif dan menyenangkan ?


C. Strategi Pembelajaran KITA, dari Mana Mulainya ?
Jika prasyarat utama di atas sebagian besar sudah kita penuhi, kita dapat memulai strategi pembelajaran KITA. Sebagai alternatif memulai strategi pembelajaran KITA dapat dipelajari tips berikut ini :
1. Mulailah di awal tahun pelajaran (atau awal pelajaran) dengan melakukan asesmen perkembangan atau kebutuhan anak.
Asesmen merupakan tahap paling awal untuk memulai strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak didik (DAPI). Memulai dengan asesmen berarti memulai dengan apa yang dimiliki oleh anak didik bukan apa yang dikuasai guru. Strategi pembelajaran yang DAPI adalah strategi pembelajaran yang dapat memenuhi kebutuhan anak secara individual walaupun dalam pelaksanaanya anak didik dapat dikelompokan sesuai dengan hasil asesmen (misalnya kelompok anak didik si Cepat, si Sedang dan si Lambat atau dengan simbol si Mekar, Kuncup dan si Putik). Hasil asesmen ini sekaligus akan menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun satuan kegiatan pembelajaran yang diharapkan dapat menciptakan program dan proses pembelajaran yang berdiferensiasi (berbeda) sesuai dengan keberbedaan anak atau kelompok anak.
2. Periksalah silabus pembelajaran dan rencana pembelajaran KITA.
Silabus dan rencana pembelajaran merupakan refleksi atau perwujudan dari keunggulan guru dalam menguasai strategi pembelajaran. Silabus sebagai rangkuman rencana pembelajaran yang menyeluruh hendaknya dibangun dari suatu konteks atau tema kehidupan yang nyata sehingga terjadi pembelajaran yang sesuai dengan konteks (Contextual Learning) yang memungkinkan anak dapat memahami proses pembelajaran dari kehidupan nyata dan bermakna. Silabus pembelajaran dengan menggunakan tema akan mengarahkan kita pada membuat rencana besar memadukan setiap bidang pengembangan atau mata pelajaran menjadi satu kesatuan yang utuh (terpadu). Tindakan ini sejalah dengan semangat kegiatan belajar mengajar yang menggunakan KBK maupun KTSP, terutama pada pendekatan jaringan pengetahuan dan pendekatan kontekstual. Semangat pembelajaran terpadu ini akan sangat berguna bagi anak didik untuk melihat dan memahami hubungan antar mata pelajaran dalam konteks kehidupan yang nyata. Pada komponen silabus pembelajaran pertimbangkan adanya komponen konsep, baik untuk situasi pembelajaran TK maupun SD seperti konsep Bahasa (Bahasa Indonesia, konsep Agama, konsep Sains (TK : Kognitif Sains), konsep IPS (TK : konsep Sosial Emosi), konsep Matematika (kognitif Matematika) dan konsep Seni. Konsep yang dimaksud adalah rumusan tentang pengetahuan, kemampuan, keterampilan atau pengalaman yang diharapkan akan dicari dan ditemukan anak selama proses belajar mengajar berlangsung. Sebagai contoh, dalam bahasa terdapat konsep menemukan kosa kata baru dan pengertiannya, anak menemukan kesimpulan dari suatu wacana ; dalam sains terdapat konsep tentang air dapat diperoleh dari berbagai sumber, air dapat berubah wujud menjadi padat dan gas, air dapat diolah dengan berbagai cara.
3. Siapkan dan tatalah suasana kelas (indoor space) dan lingkungan sekitar (outdoor space).
Guru dapat menata ruangan kelas dengan berbagai pola yang memungkinkan anak berinteraksi tidak hanya dengan guru tetapi juga dengan teman-temannya dan sumber belajar lain yang relevan. Guru dapat mengatur posisi tempat duduk anak (lingkaran, setengah lingkaran, leter U, berkelompok atau berhadap-hadapan secara kelompok), mengatur posisi meja guru (jangan sampai monoton), rak buku atau display hasil karya anak. Demikian juga dengan penataan sumber belajar yang ada pada lingkungan sekitar, terutama yang terkait dengan tanaman, binatang, tanah, batu dan air. Penataan sarana lingkungan sebenarnya telah diatur contohnya dalam buku pedoman sarana pendidikan. Dalam pandangan guru profesional, tidak ada sejengkalpun ruangan yang tidak bisa dijadikan sarana pengembangan anak. Dari segi penataan lingkungan didalam kelas, setiap ruang akan dibuat kreatif, inovatif dan atraktif, mulai dari lantai kelas (apa yang mengundang anak belajar dari lantai kelas ?), dinding kelas (pembelajaran apakah yang tampak pada dinding kelas yang mengundang perhatian anak), rak buku, jendela, pintu dan langit-langit. Dari segi penataan lingkungan luar kelas juga akan dirancang kreatif. Inovatif dan atraktif, mulai dari pintu gerbang (bisakah pintu gerbang itu dibuat berbentuk ikan hiu, harimau atau ayam yang penting tidak menampakan diri seperti pintu penjara), jalan menuju kelas, tanaman hias dan apotik hidup, tempat hidup binatang, saluran air, tempat pembuangan sampah, papan pengumuman, ayunan, jungkitan, papan luncur dan terowongan.


4. Jika kelas memungkinkan lakukan circle time atau waktu duduk melingkar.
Kegiatan circle time diperlukan untuk membantu anak berinteraksi dengan cara tatap muka langsung. Proses ini akan menumbuhkan rasa percaya diri anak, mempelajari gerak gerik seseorang ketika berbicara serta mempelajari tentang berbagai proses dalam berkomunikasi secara langsung (seperti berpendapat, menyanggah, menyetujui). Dalam kegiatan ini, guru dapat menunjukkan sikap empati untuk menelaah hal-hal psikologis yang mungkin ditemui anak sepanjang bangun tidur sampai berangkat ke sekolah. Aspek psikologis yang negatif (misalnya dipukul, diancam, dicubit) akan berjadi hambatan ketika anak memasuki kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya.
5. Saat memasuki pembelajaran, dari wacana ke pengamatan (praktik langsung) atau dari pengamatan ke wacana.
Memasuki kegiatan pembelajaran yang sesungguhnya dapat dilakukan guru dari sebuah wacana sebagai bahan ajar yang disusun dan dikembangkan sendiri. Wacana haruslah memperlihatkan keinginan terwujudnya jaringan pengetahuan antara mata pelajaran atau bidang pengembangan satu dengan bidang lainnya. Pemahaman tersebut mengarah pada perlunya mengembangkan suatu wacana yang dapat memadukan hubungan antar mata pelajaran atau bidang pengembangan sehingga menjadi satu kesatuan yang bermakna. Berdasarkan pembelajaran dari wacana, anak dapat dibantu untuk menemukan berbagai konsep yang diinginkan dalam silabus melalui berbagai kegiatan pengamatan atau memperagakan secara langsung.






D. Pendekatan yang disarankan dalam Kurikulum

K
omponen kurikulum merupakan panduan kurikulum yang harus dibaca dan dipahami guru sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan pada suatu lembaga. Pemahaman tentang pengaturan isi dan proses pembelajaran dalam kurikulum akan membantu menanamkan dan membangun kerangka berpikir guru dalam merumuskan dan mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan sasaran program yang akan dicapai. Sebagai contoh, dalam panduan KBM kurikulum 2004 dan KTSP dapat ditemukan beberapa alur pelaksanaan kegiatan belajar mengajar seperti penggunaan pendekatan 4 pilar pendidikan, pendekatan inquiri, pendekatan konstruktivisme, pendekatan pembelajaran yang demokratis dan pendekatan jaringan pengetahuan. Pendekatan tersebut akan sangat berpengaruh pada pemahaman dan penguasaan strategi pembelajaran yang akan dilakukan. Sebagai contoh, guru yang biasa memahami dan menggunakan konsep KBM yang menekankan bahwa pembelajaran itu hanya mengalihkan pengetahuan, keterampilan dan nilai tertentu pada anak didik akan berbeda dengan guru yang memahami dan menggunakan pendekatan empat pilar pendidikan. Guru yang menggunakan strategi pembelajaran dengan empat pilar pendidikan akan merancang dan mengembangkan strategi pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan anak sekedar mengetahui saja (learning how to know) tetapi dia akan mengembangkan strategi pembelajaran yang membelajarkan anak untuk melakukan atau menujukkan sesuatu (learning how to do), membelajarkan anak untuk membangun nilai-nilai dan sikap sendiri (learning how to be) dan membelajarkan anak untuk membangun keselarasan hidup dengan sesama (learning how to life together).
Pendekatan pembelajaran yang pertama diperkuat dengan pendekatan inquiri yang akan membantu murid tidak sekedar memperoleh hasil belajar yang optimal melainkan juga memperoleh berbagai keterampilan inquri yang dalam berbagai hal ditunjukkan oleh pengguasaan keterampilan proses. Keterampilan proses akan membantu murid agar proses pemerolehan berbagai konsep pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan nilai-nilai dilakukannya sendiri melalui sejumlah proses seperti mengamati, mencari, menemukan, mengklasifikasi, membedakan, mendiiskusikan, menyimpulkan dan mengkomunikasikan. Penyediaan sejumlah proses belajar murid tersebut pada hakikatnya merupakan cara pandang yang terdapat dalam pendekatan konstruktivisme.
Pendekatan konstruktivisme menganut suatu pemikiran dan pemahaman bahwa kegiatan pendidikan atau pembelajaran merupakan usaha atau proses menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang memberikan kesempatan pada anak didik untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang berguna dan diperlukan dalam hidupnya. Aliran ini meyakini bahwa setiap anak didik mempunyai kemauan dan kesanggupan dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai. Tugas guru yang utama adalah sebagai disainer, motivator dan fasilitator. Sebagai disainer, guru bertugas merancang kegiatan pembelajaran yang melibatkan berbagai keunggulan model, metode, materi, media dan sumber belajar dari berbagai lingkungan yang memungkinkan anak didik belajar secara mandiri. Sebagai motivator, guru bertugas untuk membangun kemauan, minat dan perhatian anak didik tentang berbagai objek atau peristiwa yang dipelajari. Tugas guru sebagai fasilitator adalah menciptakan suasana lingkungan (didalam dan diluar kelas) yang memberikan kemudahan dan kelancaran bagi anak didik untuk mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai. Falsafah dan pengertian tersebut perlu dan harus menjadi rujukan bagi guru dalam memilih salah satu model pembelajaran konstruktivisme, baik dalam membuat perencanaan maupun pelaksaan pembelajaran.
Selain landasan kurikulum, perencanaan pembelajaran dapat ditelaah dan dikembangkan berdasarkan acuan model pembelajaran dan konsep teoritik tentang disain pembelajaran atau instructional design. Pada berbagai model pembelajaran biasanya dikemukakan rumusan langkah pembelajaran sesuai falsafah dan prinsip yang dianut model pembelajaran yang bersangkutan. Perencanaan pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran akan dikemukakan pada bab. tersendiri. Beberapa acuan model pembelajaran yang akan dibahas diantaranya model pengajaran barang sesungguhnya, model pembelajaran sentra, model pembelajaran proyek dan model pembelajaran simbiotis. Adapun acuan perencanaan pembelajaran sesuai dengan teori disain instruktional juga akan mengemukakan beberapa disain instruksional model Kemp, model Elly dan model Davis pada bab tersendiri.

Daftar Bacaan

Brewer, Jo Ann, Introduction to Early Childhood Education. Allyn and Bacon : 1992.
Bennet, William J. and Chester E. Finn Jr, John T.E. Cribb Jr. The Educated Child ; A Parent Guide from Preschool througt eight grade. New York : The Free Press, 1999.
Decker, Celia Anita and John R. Decker. Planning and Administering Early Childhood Education Programs, fifth edition. New york : merril an Imprint of Macmillan Publishing Company, 1992.
Hapidin, Pedoman Praktis, Perencanaan, Pengelolaan dan Evaluasi Pengajaran untuk Taman Kanak-kanak. Jakarta : Ghiyats Alfiani Press, 1997.
Hapidin, Model-Model Pendidikan Untuk Anak Usia Dini. Jakarta : Ghiyats Alfiani Press, 2000.
Hapidin, Managemen Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta : Pusdiani, 2001.
Hapidin, Strategi Pembelajaran : Acuan Konseptual dan Praksis. Bekasi : Pusdaini Press, 2005.
Wolfgang, Charles and Mary E. wolfgang. School for Young Children : Developmentally Appropriate Practices. Needham Heights, Florida Universsity : Allyn and Bacon, 1992.
Wortham, Sue Clark, Measurement and Evaluation in Early Childhood Education. New Jersey : Prentice Hall., Inc., 1995.

Tidak ada komentar: